tabber

Learning Blogger akan memberi ilmu tentang tips dan trik blogger , tutorial blogger dan template SEO
Home » » Buruh dan Peradaban Kolonial

Buruh dan Peradaban Kolonial

Written By Unknown on Rabu, 07 Agustus 2013 | 05.42

ESAI |Oleh: Salamet Wahedi >>
M.H. Szekely-Lulofs (1899-1985), novelis berkebangsaan Belanda kelahiran Surabaya, dalam karyanya "Kuli", cukup berhasil memotret praktik kolonial di Indonesia. Kolonialisasi atau penjajahan tidak sekadar mengeksploitasi dan memperbudak kaum pribumi. Kolonialisasi menciptakan kondisi mental kaum pribumi terkungkung dan dipaksa tak berdaya. Kecuali itu, novel ini berhasil menggambarkan efektivitas dan efisiennya strategi adu domba Belanda meredam setiap perlawanan kaum pribumi.
Ruki, tokoh utama novel ini, hadir sebagai potret pribumi terperdaya dan tak berdaya. Dengan iming-iming emas, wanita, dan petualangan, Ruki begitu polosnya meninggalkan kampung halaman.

Di tanah rantau Deli, Ruki baru sadar. Ia ternyata dihadapkan pada narasi suram: kerja paksa sebagai kuli kontrak. Bertahun-tahun Ruki dipaksa untuk tunduk. Hingga akhirnya, dia benar-benar tak berdaya dan menyerah pada nasib perbudakan.

Cuplikan kecil "Kuli" di atas sengaja disuguhkan sekadar mengingat kita, bahwa hingga hari ini praktik kolonial semisal itu masih terus berlangsung. Meski tak sama persis dengan yang menimpa Ruki, nasib buruh masih terus direkayasa untuk diam dan bungkam. Terutama buruh yang hidup di 'pedalaman'.

Zainal Abidin, buruh P.T. Garam di Desa Pinggirpapas-Karanganyar, Kalianget, Sumenep, nasibnya hampir sama dengan Ruki. Bedanya Ruki direkayasa dan dipaksa tak berdaya di tanah rantau, Zainal Abidin dipaksa tunduk di tanah kelahirannya. Kalau Ruki tak berdaya karena cengkraman 'tangan besi' Belanda, Zainal Abidin dipaksa bungkam oleh sinisnya oknum P.T Garam yang notebene saudara-saudaranya sendiri.

Ketua Persaudaraan Buruh Garam Sumenep (Peberes), ini mendapat perlakuan sewenang-wenangan setelah ia berinisiatif memperjuangkan upah yang layak. Sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah, yaitu UMR Kabupaten Sumenep tahun 2012 sebesar 825.000. Ketentuan ini berlaku sejak Januari 2012.

Sebagai buruh yang dibayar harian, mereka seharusnya mendapatkan upah sebesar 27.500. Besaran upah ini berdasarkan hitung-hitungan 825.000 dibagi 30 hari. Kenyataannya, sejak awal masuk kerja (:Mei) hingga Juli 2012, buruh P.T. Garam Pinggirpapas-Karanganyar mendapatkan upah sebesar 26.150. Dengan demikian kelayakan upah buruh sesuai UMR masih minus 1.350.

Uang senilai 1.350 bagi pejabat pemerintah tak berarti apa-apa. Tapi bagi buruh seperti Zainal Abidin dan teman-temannya, tetap memiliki arti cukup berharga untuk menunjang hidup.
Atas dasar hitung-hitungan kelayakan upah ini, Zainal Abidin berencana untuk melakukan audiensi dengan pihak P.T. Garam.

Setelah dikomunikasikan, awalnya semua buruh menyatakan siap untuk berdiri di belakang sang Ketua Paberes. Sayangnya, cara 'gerakan' Zainal Abidin ternyata tak menyenangkan hati tuan-tuan penguasa kantor P.T. Garam. Dan seperti penguasa kolonial, oknum-oknum PT.Garam di malam hari-H mengetuk setiap pintu rumah buruh. Dengan menggunakan tenaga-tenaga berpengaruh, P.T. Garam menebar ancaman lugas dan jelas: setiap buruh yang ikut Zainal Abidin akan diberhentikan.

Akibatnya di hari-H audiensi kenaikan upah, para buruh memilih untuk tetap bekerja, kecuali Zainal Abidin. Sesuai ancaman yang telah disebar, Zainal Abidin pun dijatuhi hukuman: PHK. Setelah memberhentikan Zainal Abidin, P.T. Garam baru menaikkan upah menjadi 27.500.

Cerita ini tak hanya berhenti di sini. Merasa diperlakukan tidak adil, Zainal Abidin coba mengajukan surat pengaduan ke DISNAKER Sumenep. Sayangnya, lembaga yang ditugaskan untuk mengurus ketenagakerjaan ini, tak memiliki integritas kebangsaan yang jelas. Surat pengaduan Zainal Abidin mangkrak hingga satu bulan. Yang lebih aneh, alih-alih mau mendapatkan kejelasan kasusnya, DISNAKER Sumenep malah 'menuntut' Zainal Abidin untuk mengumpulkan pernyataan plus tanda tangan dari para buruh yang pada 'awam' terhadap proses hukum, mereka kebanyakan buta huruf.

Cerita buruh Zainal Abidin yang diberhentikan sepihak oleh P.T. Garam bukan sekadar cerita rekaan atau fiksi belaka seperti dalam novel "Kuli". Cerita ini ditulis untuk mengungkapkan keterpurukan nasib buruh garam yang tak terurus dengan benar. Persoalan buruh, mulai upah, sistem perekrutan, sampai perlindungannya, seolah sengaja dijadikan drama panjang.

Lebih jauh, nasib tragis yang menimpa Zainal Abidin bukan sekadar persoalan materi dan kebijakan semata. Tapi juga menyangkut mental sebagian besar pejabat pemerintah negeri ini. Mereka tak hanya bermental inlander, tapi juga menunjukkan perangai yang suka menari-nari di atas penderitaan saudaranya. Mereka suka ongkang-ongkang kaki di atas jerih payah saudaranya.

Dengan pola-tingkah kolonial ini, mungkin mereka berharap buruh garam tak banyak cingcong. Meski sampai kini, status mereka hanya buruh harian lepas. Padahal mereka merupakan buruh utama dalam memproduksi garam. Dengan status mereka yang demikian, pihak P.T Garam akan lebih diuntungkan.

P.T. Garam tidak terbebani dengan urusan jaminan sosial, kesehatan, santunan kematian dan tetek-bengek buruh lainnya. Bahkan dengan status buruh harian lepas, P.T. Garam dengan sesuka hati dapat melakukan PHK, intimidasi, dan mengibiri hak konstitusional buruh untuk berserikat dan berpendapat tentang nasibnya.

Hampir setiap tahun, persoalan upah dan pemberhentian buruh secara sepihak oleh P.T. Garam, menjadi polemik. Dan mungkin, persoalan ini memang direkayasa untuk tidak pernah selesai. Ini mengingat oknum P.T. Garam Pinggirpapas-Karanganyar masih doyan mempraktikkan peradaban kolonial.

*)Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana UGM


 sumber : DPD PDI Perjuangan JATIM




Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. NGATORRAGI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger